Bagaimana memahami darah HAIDH? Kali ini dikaji yuk dari bahasan Bulughul Maram dan penjelasannya.
KITAB BULUGHUL MARAM
كِتَابُ اَلطَّهَارَةِ
بَابُ اَلْحَيْضِ
KITAB BERSUCI
BAB HAIDH
Pengantar darah haidh
Haidh secara bahasa berarti sesuatu yang mengalir dan memancar.
Secara istilah syari, haidh adalah:
دَمٌ طَبِيْعَةٌ يَخْرُجُ مِنْ قَعْرِ الرَّحِمِ يَعْتَادُ الأُنْثَى إِذَا بَلَغَتْ فِي أَوْقَاتٍ مَعْلُوْمَةٍ
“Darah tabiat yang keluar dari bagian dalam rahim, menjadi kebiasaan wanita ketika sudah baligh pada waktu tertentu.” (Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:111)
Beberapa poin dari definisi darah haidh
- Darah tabiat berarti darah haidh merupakan fitrah wanita. Ini bukan darah fasad (rusak) yang keluar karena sakit, luka, atau semacamnya. Darah ini adalah darah yang Allah jadikan ketetapan pada para wanita. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Aisyah ketika ia mengalami haidh saat berhaji,
هَذَا شَىْءٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ
“Ini adalah sesuatu yang Allah tetapkan bagi para wanita.” (HR. Bukhari, no. 305 dan Muslim, no. 1211)
- Karena haidh adalah darah tabiat, sesuai fitrah masing-masing, para wanita pun berbeda-beda keadaan haidhnya.
- Darah haidh itu darah tabiat, sedangkan darah istihadhah bukan darah tabiat. Darah istihadhah adalah darah fasad (rusak). Darah istihadhah keluar dari urat yang terputus lalu darah mengalir. Kita dapat katakan bahwa darah istihadhah adalah darah penyakit.
- Darah haidh itu keluar dari bagian dalam rahim, berarti sumber darah haidh adalah dari rahim. Sedangkan darah istihadhah itu keluar dari “adna” (yang terdekat, lebih rendah dari) rahim. Darah istihadhah bisa juga disebut keluar dari kemaluan, di bawah rahim.
- Haidh merupakan tanda baligh.
- Haidh itu diketahui kebiasaannya oleh setiap wanita. Haidh terjadi sebulan sekali, bisa jadi pada awal, pertengahan, atau akhir bulan sesuai kebiasaan setiap wanita. Haidh bisa jadi keluar lebih awal, bisa pula telat.
Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:111.
Hikmah adanya darah haidh
Allah menjadikan darah haidh pada wanita sebagai darah yang berbeda. Fungsi darah haidh adalah sebagai asupan makanan untuk bayi pada perut ibunya yang akan mengalir ke tubuh lewat tali pusar. Ketika melahirkan, asupan makanan berubah menjadi susu. Oleh karena itu, sedikit sekali wanita yang hamil itu mengalami haidh. Sedikit pula wanita yang menyusui mengalami haidh. Ketika wanita tidak dalam keadaan hamil atau menyusui, darah tadi tidak keluar dan tetap pada tempatnya. Darah itu akhirnya akan keluar pada waktu tertentu. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:112.
Masalah haidh adalah masalah paling rumit
Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan rahimahullah berkata, “Masalah haidh adalah masalah paling rumit dalam bab fikih. Permasalah yang ada masih banyak yang samar. Hukum terkait haidh sendiri sebenarnya sudah jelas. Ada perkara terkait haidh yang sudah disepakati. Yang jadi masalah adalah ketika darah yang keluar bukan darah haidh, lalu seorang mufti menjadi sulit dalam menentukan hukumnya. Haidh juga bisa jadi datangnya lebih awal, bisa jadi datangnya telat. Lamanya darah haidh juga bisa jadi bertambah lama, bisa jadi berkurang dari waktu kebiasaan. Permasalahan zaman ini lebih rumit karena banyak wanita yang memakai obat pencegah hamil dan penunda haidh. Inilah yang membuat mufti sulit dalam menentukan hukum terkait haidh. Wallahul musta’an.” (Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:112)
Kaidah dalam memahami haidh
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam Manhajus Salikin,
وَالْأَصْلُ فِي اَلدَّمِ اَلَّذِي يُصِيبُ اَلْمَرْأَةَ: أَنَّهُ حَيْضٌ، بِلَا حَدٍ لِسِنِّه، وَلَا قَدَرِهِ، وَلاَ تَكَرُّرِهِ
إِلَّا إِنْ أَطْبَقَ اَلدَّمُ عَلَى اَلْمَرْأَةِ، أَوْ صَارَ لَا يَنْقَطِعُ عَنْهَا إِلَّا يَسِيرًا فَإِنَّهَا تَصِيرُ مُسْتَحَاضَة
Hukum asal pada darah yang didapati wanita adalah haidh, tanpa dibatasi usia, kadar lama, maupun pengulangannya.
Kecuali bila darah tersebut keluar begitu banyak pada wanita atau darah tersebut tidak berhenti kecuali sedikit (sebentar), maka dihukumi sebagai darah istihadhah.
Hukum asal darah
Hukum asal pada darah yang didapati wanita adalah haidh. Darah bisa dianggap darah selain haidh jika ada bukti yang menunjukkan keluarnya darah tersebut dari hukum asal.
Ciri-ciri darah haidh adalah pekat (bukan encer), baunya tidak enak, dan bukan darah yang beku.
Umur, kadar lamanya, dan pengulangan keluarnya haidh
Berdasarkan keterangan dari Syaikh As-Sa’di berarti tidak ada batasan umur untuk waktu keluarnya haidh. Inilah pendapat Imam Ad-Darimi dari ulama Syafi’iyah, juga dipillih oleh Ibnu Taimiyyah, dan menjadi pendapat ulama belakangan seperti Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
Juga untuk berapa lama haidh itu keluar tidak ada batasannya. Inilah pendapat dalam madzhab Malikiyah, pendapat sebagian salaf, pendapat Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, Ibnu Baz, Al-Albani, dan Ibnu ‘Utsaimin.
Begitu juga tidak wajib melakukan hitungan berapa bulan pengulangan untuk menghukumi itu haidh.
Kapan dihukumi darah istihadhah?
Bila darah tersebut keluar begitu banyak pada wanita atau darah tersebut tidak berhenti kecuali sedikit (sebentar), maka dihukumi sebagai darah istihadhah. Ini adalah hukum pengecualian dari kaidah asal di atas.
Kapan dihukumi sudah punya kebiasaan haidh?
Haidh dihukumi sudah jadi kebiasaan jika sudah berulang sebanyak tiga kali. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali, dipilih pula oleh Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Siapa yang sudah punya kebiasaan haidh, lantas darah bertambah atau berkurang, atau haidh datang lebih cepat atau datang telat, maka dihukumi haidh. Jika darah tersebut berhenti, maka dihukumi sudah suci. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i, dipilih oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin.
Hukum darah istihadhah bagi yang tidak punya kebiasaan
Hadits ke-138
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: – إِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – “إِنَّ دَمَ اَلْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ, فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي مِنَ اَلصَّلَاةِ, فَإِذَا كَانَ اَلْآخَرُ فَتَوَضَّئِي, وَصَلِّي” – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُ, وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِم ٍ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Fatimah binti Abi Hubaisy sedang istihadhah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Sesungguhnya darah haidh adalah darah hitam yang memiliki bau yang khas. Jika memang darah itu yang keluar, hendaklah tidak mengerjakan shalat. Namun, jika darah yang lain, berwudhulah dan shalatlah.’” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasai, disahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Abu Hatim mengingkari hadits ini). [HR. Abu Daud, no. 286, 304; An-Nasai, 1:185; Ibnu Hibban, no. 1348; Al-Hakim, 1:174. Hadits ini disahihkan oleh sekelompok ulama yaitu Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu Hazm, dan Imam Nawawi. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hanya sampai derajat hasan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:113-115].
Keterangan hadits
- Fatimah binti Abi Hubaisy sedang keluar darah yang banyak. Istihadhah adalah keluarnya darah terus menerus setiap waktu atau pada mayoritas waktu. Darah istihadhah bisa jadi keluar dari rahim, ‘adna’ rahim (bawah rahim), atau keluar dari kemaluan. Para dokter menyatakan bahwa istihadhah itu keluar karena beberapa sebab:
- Bengkaknya rahim.
- Luka pada leher rahim.
- Bengkak pada leher rahim.
- Pembengkakan atau adanya sesuatu pada kemaluan.
- Haidh itu warnanya hitam dan memiliki bau yang khas, itulah yang dimaksud dengan frasa “aswad yu’rof”. Yu’rof (bisa juga dibaca yu’rif) artinya memiliki ‘arfun, yaitu bau yang khas.
- Jika yang keluar adalah darah haidh, tinggalkanlah shalat. Jika yang keluar selain darah haidh (darahnya berwarna kuning, warna blonde atau merah kekuning-kuningan, atau warna keruh, berarti darah istihadhah), hendaklah berwudhu dan mengerjakan shalat.
- Darah istihadhah adalah darah ‘irqun, yaitu urat yang luka dan darahnya mengalir. Darah istihadhah bukanlah darah haidh. Ketika keluar darah istihadhah masih tetap shalat, puasa, dan melakukan ibadah lainnya sebagaimana orang yang suci.
Faedah hadits
Pertama:
Jika wanita mengalami istihadhah, bertambah banyak darahnya, ia melihat darah tersebut. Lalu jika ragu akan darah haidh, bisa dibedakan dengan melihat warna darah. Jika darah tersebut berwarna hitam, dihukumi haidh dan tidak diperkenankan untuk shalat. Jika selain darah itu, dihukumi sebagai istihadhah.
Kedua:
Sebagian ulama berkata bahwa hadits ini berlaku untuk wanita yang baru mengalami haidh dan belum punya kebiasaan haidh. Wanita semacam ini melihat pada perbedaan warna darah jika ingin membedakan istihadhah dan haidh.
Akan tetapi, jika sudah memiliki kebiasaan darah haidh, yang jadi patokan untuk memutuskan apakah mengalami haidh ataukah istihadhah dilihat dari kebiasaan wanita. Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad, pendapat Hanafiyah, dan salah satu pandangan dalam madzhab Syafii.
Ketiga:
Perbedaan darah haidh dan darah istihadhah:
- Darah haidh berwarna hitam, darah istihadhah berwarna merah mengarah ke arah kuning.
- Darah haidh itu kental, sedangkan darah istihadhah itu encer.
- Darah haidh itu baunya khas, sedangkan darah istihadhah tidak memiliki bau.
- Darah haidh tidak membeku, sedangkan darah istihadhah bisa membeku.
Perbedaan darah haidh dan istihadhah
Yang diamati | Haidh | Istihadhah |
Warna | Umumnya warna merah tua/ gelap | Umumnya merah segar |
Konsistensi | Keras dan kaku | Lunak/ empuk |
Bau | Berbau kurang sedap | Bau seperti darah yang keluar karena luka |
Membeku | Tidak membeku | Cepat membeku seperti darah luka biasa |
Kekentalan | Kental | Encer/ kurang kental |
Referensi: Hanbook Pubertas Muslimah, hlm. 52.
Kaidah dalam memahami darah istihadhah
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam kitab beliau Manhaj As-Salikin,
فَقَدْ أَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَجْلِسَ عَادَتَهَا ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهَا عَادَةٌ فَإِلَى تَمْيِيْزِهَا ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا تَمْيِيْزٌ ، فَإِلَى عَادَةِ النِّسَاءِ الغَالِبَةِ ، سِتَّةِ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةِ أَيَّامٍ ، وَاللهُ أَعْلَمُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk mengikuti kebiasaan haidh (sebagai patokan). Kalau tidak punya kebiasaan, maka melihat pada perbedaan warna darah (tamyiz). Jika tidak bisa membedakan, maka melihat pada kebiasaan wanita pada umumnya yaitu enam atau tujuh hari. Wallahu a’lam.
Dari penjelasan Syaikh As-Sa’di di atas, istihadhah ada tiga keadaan:
Keadaan pertama:
Yang sudah punya kebiasaan haidh sebelumnya (disebut al-mu’taadah), sudah diketahui kebiasaan kadar dan waktunya, kemudian mengalami istihadhah. Misalnya ada seorang wanita yang punya kebiasaan haidh pada awal bulan selama tujuh hari, kemudian mengalami istihadhah. Ia menyikapi, tujuh hari sebagai kebiasaan haidh. Pada awal bulan, ia meninggalkan shalat selama tujuh hari. Lalu hari kedelapan, ia mandi. Setelah itu ia melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh wanita yang suci seperti mengerjakan shalat atau berpuasa.
Dalil untuk keadaan pertama adalah hadits berikut,
أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ ، سَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ : إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ ، أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ ؟ فَقَالَ : لاَ ، إِنَّ ذَلِكَ عِرْقٌ ، وَلَكِنْ دَعِي الصَّلاَةَ قَدْرَ الأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهَا ، ثُمَّ اِغْتَسِلِي وَصَلِّي.
“Fathimah binti Abi Hubaisy pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, ‘Aku pernah istihadhah dan belum suci. Apakah aku mesti meninggalkan shalat?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun, tinggalkanlah shalat sebanyak hari yang biasanya engkau haidh sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukanlah shalat.’” (HR. Bukhari, no. 325)
Dari hadits di atas disimpulkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyarankan untuk memperhatikan pada kebiasaan (‘adat), bukan memperhatikan pada perbedaan warna darah (tamyiz antara haidh dan istihadhah).
Keadaan kedua:
Bagi wanita yang tidak punya kebiasaan haidh, wanita semacam ini disebut al–mubtada’ah. Ini dialami oleh orang yang baru mengalami haidh atau dialami oleh wanita yang sudah punya kebiasaan, tetapi ia lupa kapan waktu dan lamanya. Yang dijadikan patokan adalah warna darah, disebut tamyiz (harus bisa membedakan mana darah haidh dan istihadhah).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Fathimah binti Abu Hubaisy,
إِذَا كَانَ دَمُ الحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ، فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِيْ عَن الصَّلاَةِ، فَإِذَا كَانَ الآخَرُ فَتَوَضَّئِيْ وَصَلِّيْ فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ
“Jika yang keluar adalah darah haidh yaitu berwarna hitam yang baunya khas, maka tinggalkanlah shalat. Akan tetapi, jika yang keluar bukan seperti itu, maka berwudhulah dan lakukanlah shalat karena itu adalah darah penyakit.” (HR. Abu Daud, no. 286. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Keadaan ketiga:
Yang tidak punya kebiasaan (seperti pada yang baru mengalami haidh atau dalam keadaan lupa masa haidnya) dan tidak bisa membedakan darah haidh dan yang bukan, maka dikembalikan kepada kebiasaan umumnya wanita yaitu enam atau tujuh hari.
Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anha yang nanti akan dijelaskan.
Wanita mubtada’ah (yang belum punya kebiasaan) ada dua keadaan:
- Keadaan pertama adalah bisa membedakan warna darah. Ketika didapati darah haidh, maka tidak shalat. Ketika darah tersebut berhenti, maka mandi lalu mengerjakan shalat.
- Keadaan kedua adalah tidak bisa membedakan warna darah, maka ia mengikuti kebiasaan umumnya wanita yaitu enam atau tujuh hari. Ketika sudah melewati masa tersebut, maka mandi lalu mengerjakan shalat. Ketika dapati darah, maka hari tersebut dihitung sebagai hari pertama keluarnya haidh.
Wanita mu’taadah (yang sudah punya kebiasaan) ada dua keadaan:
- Keadaan pertama adalah masih mengingat kebiasaan haidh, maka tugasnya adalah mengamalkan sesuai kebiasaan. Di sini tidaklah memperhatikan perbedaan warna darah (tamyiz).
- Keadaan kedua adalah lupa dengan kebiasaan haidh, maka ada dua hal lagi bisa diperhatikan: (a) jika bisa membedakan warna darah, maka itulah yang dipakai; (b) kalau tidak bisa membedakan warna darah, berarti melihat pada kebiasaan wanita umumnya.
Hukum mandi untuk wanita yang mengalami istihadhah
Hadits ke-139
وَفِي حَدِيثِ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ: – لِتَجْلِسْ فِي مِرْكَنٍ, فَإِذَا رَأَتْ صُفْرَةً فَوْقَ اَلْمَاءِ, فَلْتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَالْعَصْرِ غُسْلاً وَاحِدًا, وَتَغْتَسِلْ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ غُسْلاً وَاحِدًا, وَتَغْتَسِلْ لِلْفَجْرِ غُسْلاً, وَتَتَوَضَّأْ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ –
Dalam hadits Asma’ binti ‘Umaisy yang diriwayatkan oleh Abu Daud disebutkan, “Hendaklah dia duduk dalam suatu bejana air. Jika dia melihat warna kuning di atas permukaan air (itu berarti darah istihadhah, pen.), hendaknya ia mandi sekali untuk Zhuhur dan Ashar, mandi sekali untuk Maghrib dan Isya, dan mandi untuk Shubuh, dan berwudhu antara waktu-waktu tersebut.” [HR. Abu Daud, no. 296. Hadits ini mengalamai kritikan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:120-121].
Faedah hadits
Hadits ini jadi dalil bahwa wanita istihadhah diperintahkan untuk sekali mandi untuk dua waktu shalat (Zhuhur dan Ashar, lalu Maghrib dan Isya), juga untuk shalat Shubuh sekali mandi. Kemudian shalat Zhuhur dikerjakan pada akhir waktu, lalu shalat Ashar dikerjakan pada awal waktu (dikenal dengan jamak suri). Hal ini sama juga diterapkan untuk shalat Maghrib dan Isya. Pendapat ini dianut oleh sekelompok sahabat dan tabiin. Namun, yang paling tepat adalah mandi dilakukan ketika telah selesai haidh saja dengan sekali mandi.
Jamak shalat untuk wanita istihadhah
Hadits ke-140
وَعَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: { كُنْتُ أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيرَةً شَدِيدَةً, فَأَتَيْتُ اَلنَّبِيَّ ( أَسْتَفْتِيهِ, فَقَالَ: “إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنَ اَلشَّيْطَانِ, فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ, أَوْ سَبْعَةً, ثُمَّ اِغْتَسِلِي, فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ, أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ, وَصُومِي وَصَلِّي, فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُكَ, وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ اَلنِّسَاءُ, فَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي اَلظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي اَلْعَصْرَ, ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ تَطْهُرِينَ وَتُصَلِّينَ اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا, ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ اَلْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ اَلْعِشَاءَ, ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ اَلصَّلَاتَيْنِ, فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ اَلصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ. قَالَ: وَهُوَ أَعْجَبُ اَلْأَمْرَيْنِ إِلَيَّ } رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَحَسَّنَهُ اَلْبُخَارِيّ ُ
Hamnah binti Jahsy berkata, “Aku pernah keluar darah istihadhah yang banyak sekali. Lalu aku menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwanya. Beliau bersabda, ‘Itu hanya gangguan dari setan. Sikapi seperti masa haidh enam ataukah tujuh hari, kemudian mandilah. Jika engkau telah bersih, shalatlah 24 atau 23 hari, berpuasa, dan shalatlah (sunnah) karena demikian itu cukup bagimu. Kerjakanlah seperti itu setiap bulan sebagaimana wanita-wanita yang haidh. Jika engkau kuat untuk mengakhirkan shalat Zhuhur dan mengawalkan shalat ‘Ashar, maka kerjakanlah. Kemudian engkau mandi, dan ketika telah suci (sementara) engkau shalat Zhuhur dan Ashar dengan jamak. Kemudian engkau mengakhirkan shalat Maghrib dan mengawalkan shalat Isya. Kemudian engkau mandi dan menjamak dua shalat tersebut. Jika engkau mampu, kerjakanlah demikian. Engkau mandi beserta shalat Shubuh dan engkau shalat.’ Beliau bersabda, ‘Inilah dua hal yang paling aku sukai.’” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima kecuali An-Nasai. Hadits ini menurut At-Tirmidzi sahih, dan menurut Al-Bukhari hasan). [HR. Abu Daud, no. 287; Tirmidzi, no. 128; Ibnu Majah, no. 627; Ahmad, 6:439. Sanad hadits ini dhaif. Lihat penjelasan Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:124-125].
Faedah hadits
Hadits ini jadi dalil bahwa wanita yang mengalami darah istihadhah yang belum memiliki kebiasaan haidh dan tidak bisa membedakan manakah darah haidh ataukah istihadhah, maka ia menjadikan kebiasaan umumnya wanita sebagai patokan. Umumnya wanita mengalami haidh enam atau tujuh hari setiap bulan. Ketika keluar darah pertama, dihukumi haidh dan sisanya dihukum istihadhah.
Hukum mandi untuk wanita istihadhah dan wudhu setiap kali shalat
Hadits ke-141
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; { أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ بِنْتَ جَحْشٍ شَكَتْ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ ( اَلدَّمَ, فَقَالَ: “اُمْكُثِي قَدْرَ مَا كَانَتْ تَحْبِسُكِ حَيْضَتُكِ, ثُمَّ اِغْتَسِلِي” فَكَانَتْ تَغْتَسِلُ كُلَّ صَلَاةٍ } رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Ummu Habibah binti Jahsy mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal darah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berhentilah dari shalat selama masa haidh menghalangimu kemudian mandilah.” Kemudian dia mandi untuk setiap kali shalat. (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 334, 63]
Hadits ke-142
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: { وَتَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ } وَهِيَ لِأَبِي دَاوُدَ وَغَيْرِهِ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ.
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Berwudhulah pada setiap shalat.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya dari jalan lainnya) [HR. Bukhari, no. 228]
Faedah hadits
Pertama: Wajib mandi bagi wanita istihadhah selama melewati hari kebiasaan haidhnya, yaitu selesai haidhnya.
Kedua: Wanita istihadhah wajib berwudhu pada setiap waktu shalat. Yang dimaksud adalah wudhu tadi digunakan untuk shalat fardhu maupun shalat sunnah, selama belum keluar waktu. Inilah pendapat ulama Hanafiyah dan Hambali.
Ketiga: Haidh tidak memiliki patokan lama berlangsungnya, yaitu tidak ada penetapan waktu minimal maupun waktu maksimalnya.
Hukum mandi untuk wanita istihadhah dan wudhu setiap kali shalat
Hadits ke-143
وَعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: { كُنَّا لَا نَعُدُّ اَلْكُدْرَةَ وَالصُّفْرَةَ بَعْدَ اَلطُّهْرِ شَيْئًا } رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ, وَأَبُو دَاوُدَ وَاللَّفْظُ لَه ُ
Dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Kami tidak menganggap sebagai haidh pada cairan keruh (kudrah) dan warna kekuningan (shufrah) setelah bersuci.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Abu Daud, lafazh hadits ini dari Abu Daud). [HR. Bukhari, no. 326; Abu Daud, no. 308; An-Nasai, no. 1:186]
Faedah hadits
- Al-kudrah adalah warna antara merah dan hitam. Akan tetapi, yang dimaksud di sini adalah warna keruh antara kuning dan hitam. Ash-shufrah adalah merah yang mengarah ke warna putih. Akan tetapi, yang dimaksud adalah terlihatnya warna kuning sebagaimana luka (nanah).
- Tanda suci haidh pada wanita adalah:
- Terlihat al-qashshah al-baydha’, yaitu cairan putih keluar dari rahim ketika berhentinya darah haidh.
- Terlihat jufuf (kering), yaitu dinilai suci ketika sudah terasa kering. Tandanya adalah dicoba dengan kapas, lalu tidak tampak lagi cairan kuning dan cairan keruh.
Tanda selesainya wanita dari haidh tergantung kebiasaan. Ada wanita yang memiliki tanda dengan keluarnya al-qashshah al-baydha’, ada yang al–jufuf saja, ada juga yang kedua-duanya. Kebanyakan wanita tanda berhentinya adalah al-qashshah al-baydha’, ada juga dengan al-jufuf. Al-qashshah al-baydha’ adalah tanda yang paling terlihat jelas. Jadi, kalau sudah terlihat al-qashshah al-baydha’, tanpa perlu menunggu al-jufuf.
Beberapa wanita pernah diutus menemui Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan membawa wadah kecil berisi kapas. Kapas itu terdapat warna kuning. Aisyah pun berkata,
لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ . تُرِيدُ بِذَلِكَ الطُّهْرَ مِنَ الْحَيْضَةِ
“Janganlah terburu-buru (menganggap suci) sampai engkau melihat al-qashshah al-baydha’ (cairan putih).” (HR. Bukhari secara mu’allaq, tanpa sanad).
Hukum kudrah (cairan keruh) dan shufrah (cairan kuning)
- Jika cairan tersebut keluar pada masa haidh atau bersambung dengan haidh, dihukumi sebagai haidh.
- Sedangkan jika keluar di selain masa haidh, maka dihukumi bukan haidh. Inilah pendapat dalam madzhab Hanafiyah, Hambali, salah satu pendapat Malikiyah, salah satu pendapat Syafi’iyah, dipilih juga oleh Ibnu Taimiyah, termasuk Syaikh Ibnu Baz, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Lihat Mulakhkash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 139.
Yang dihalalkan dan diharamkan pada wanita haidh
Hadits ke-144
وَعَنْ أَنَسٍ ( { أَنَّ اَلْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ اَلْمَرْأَةُ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ ( “اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا اَلنِّكَاحَ” } رَوَاهُ مُسْلِم
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya kaum Yahudi apabila seorang wanita di antara mereka haidh, mereka tidak mengajaknya makan bersama. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu kecuali bersetubuh.” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 302]
Hadits ke-145
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: { كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ ( يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ, فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَاحَائِضٌ } مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh kepadaku mengenakan kain dan beliau mencumbuku padahal aku sedang haidh.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 300 dan Muslim, no. 293]
Faedah hadits
Pertama: Diharamkan menyetubuhi istri saat haidh.
Allah Ta’ala berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh (al-mahiidh). Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Al-mahiid dalam ayat yang dimaksud adalah:
- Waktu haidh
- Tempat keluarnya darah haidh (kemaluan)
Yang dimaksud al-qurb (mendekati) adalah kata kiasan dari jimak. Larangan mendekati dalam ayat bukanlah maksudnya adalah dilarang mendekati istri saat haidh, tetapi dilarang melakukan jimak. Ringkasnya, ayat di atas mengandung larangan berjimak dengan istri yang mengalami haidh yaitu pada waktu haidh dan di kemaluan (tempat keluarnya darah haidh).
Dari sini telah ada ijmak bahwa menyetubuhi wanita haidh dihukumi haram. Yang menukil ijmak di sini adalah Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan para pakar tafsir.
Kedua: Hadits di atas menunjukkan masih dibolehkannya mencumbu istri saat haidh asalkan tidak terjadi jimak pada kemaluan atau dubur. Namun, jika menghindari area antara pusar dan lutut, hal itu lebih baik.
Ketiga: Siapa saja yang menyetubuhi istrinya saat haidh, ia terjerumus dalam dosa besar. Bahkan siapa saja yang membolehkan (menghalalkan) menyetubuhi wanita saat haidh, ia telah kafir karena ia telah mengingkari perkara yang telah disepakati haramnya.
Keempat: Ada dampak bahaya jika berhubungan intim saat haidh, yaitu rentan mengalami penyakit menular, juga lebih mudah terpapar infeksi menular seksual karena mulut rahim lebih terbuka saat haidh.
Kafarat menyetubuhi wanita saat masa haidh
Hadits ke-146
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنِ اَلنَّبِيِّ ( -فِي اَلَّذِي يَأْتِي اِمْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ-قَالَ: { يَتَصَدَّقُ بِدِينَارٍ, أَوْ نِصْفِ دِينَارٍ } رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ وَابْنُاَلْقَطَّانِ, وَرَجَّحَ غَيْرَهُمَا وَقْفَه
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang mendatangi istrinya ketika ia sedang haidh. Beliau bersabda, “Ia harus bersedekah satu atau setengah dinar.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima. Hadits ini sahih menurut Al-Hakim dan Ibnu Qaththan dan mawquf menurut lainnya). [HR. Abu Daud, no. 264; Tirmidzi, no. 136; An-Nasai, 1:153; Ibnu Majah, no. 640; Ahmad, 3:473; Al-Hakim, 1:172. Hadits ini dinilai dhaif oleh Imam Syafii, Ibnul Mundzir, Ibnu ‘Abdil Barr, dan Imam Nawawi. Adapun ulama yang mensahihkan hadits ini adalah Al-Hakim, Ibnul Qaththan, Ibnu Daqiq Al-‘Ied, dan Ibnu Hajar]
Faedah hadits
Apakah ada kafarat bagi yang menyetubuhi istrinya saat haidh?
Para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa ada kafarat untuk dosa yang ia lakukan yaitu bersedekah dengan satu atau setengah dinar. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad dan pendapat yang lama dari Imam Syafii.
Catatan:
Ada ulama yang membedakan, jika terjadi jimak di awal haidh, kafaratnya adalah satu dinar. Sedangkan, jika terjadi jimak di akhir haidh, kafaratnya adalah setengah dinar. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 18:324-325.
Pendapat kedua menyatakan tidak ada kafarat apa-apa. Akan tetapi, yang ia lakukan adalah meminta ampun kepada Allah. Inilah pendapat jumhur ulama yaitu dari kalangan ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah (dalam pendapat jadid), salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Zhahiriyah, serta sebagian salaf seperti Ibnu Sirin, ‘Atha’, Ibrahim An-Nakhai.
Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Al-Muhamili dalam Al-Majmu’ berkata bahwa Imam Syafii rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh, maka ia telah terjerumus dalam dosa besar.” Ulama Syafiiyah dan selainnya berkata bahwa barangsiapa yang menganggap halal menyetubuhi wanita haidh, maka ia dihukumi kafir. Barangsiapa yang melakukannya atas dasar tidak tahu adanya haidh, tidak tahu akan haramnya, lupa, atau dipaksa, maka tidak ada dosa untuknya dan tidak ada kafaroh. (Dinukil dari Al-Majmu’, 2:359)
Dalam dalil yang disebutkan di atas tidaklah disebutkan masalah kafarat.
Wallahu a’lam, pendapat kedua lebih kuat dalam masalah ini sebagaimana pendapat jumhur ulama yaitu tidak ada kafarat bagi yang menyetubuhi istrinya saat haidh. Yang jelas ini adalah kesalahan dan termasuk dosa besar, kewajibannya adalah bertaubat nashuha pada Allah dan bertekad tidak mengulanginya lagi. Lihat bahasan Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:212.
Wanita haidh meninggalkan shalat dan puasa
Hadits ke-147
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ ( قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ( { أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ? } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي حَدِيث ٍ
Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah seorang wanita itu apabila haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (Muttafaqun ‘alaih, dalam hadits yang panjang) [HR. Bukhari, no. 304 dan Muslim, no. 132, 80]
Faedah hadits
- Hadits ini jadi dalil bahwa wanita haidh itu meninggalkan shalat saat mengalami haidh. Jika ia melakukan shalat saat haidh, shalatnya tidaklah sah karena suci itu merupakan syarat sahnya shalat, sedangkan wanita haidh tidak berada dalam keadaan suci.
- Wanita haidh meninggalkan puasa. Jika ia melakukan puasa saat haidh, puasanya tidaklah sah. Hal ini disepakati oleh para ulama.
- Wanita haidh tidaklah diperintahkan untuk mengqadha shalat. Namun, wanita haidh diperintahkan untuk mengqadha puasa.
- Hikmah kenapa wanita haidh diperintahkan mengqadha puasa tetapi tidaklah diperintahkan untuk mengqadha shalat, karena shalat itu terus berulang setiap hari. Sedangkan, haidh umumnya akan berulang setiap bulan. Qadha shalat untuk wanita haidh itu berat. Sedangkan, puasa tidaklah berulang seperti shalat. Puasa yang wajib hanyalah sebulan dalam setahun.
Wanita haidh dilarang melakukan thawaf keliling kabah
Hadits ke-148
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: { لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ ( “اِفْعَلِي مَا يَفْعَلُ اَلْحَاجُّ, غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي” } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ فِي حَدِيث ٍ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Ketika kami telah tiba di desa Sarif (lembah di utara Makkah), aku haidh. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, tetapi engkau jangan berthawaf di Baitullah sampai engkau suci.” (Muttafaqun ‘alaih, dalam hadits yang panjang) [HR. Bukhari, no. 305 dan Muslim, no. 1211, 120]
Faedah hadits
- Hadits ini menunjukkan haramnya thawaf untuk wanita haidh. Thawaf wanita haidh tidaklah sah. Jika wanita mengalami haidh di tengah thawaf, thawafnya batal. Inilah madzhab jumhur (Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah dalam pendapatnya yang masyhur, juga ulama Zhahiriyah).
- Jika wanita haidh tidak mungkin berdiam lama di Makkah untuk menunggu sampai suci, kemudian ia melakukan thawaf, bisa jadi khawatir pada diri, harta, atau yang menemaniya dari mahramnya, padahal ia berasal dari negeri yang jauh dan sulit lagi untuk kembali ke Makkah, boleh baginya melakukan thawaf dalam kondisi seperti ini. Hal ini berdasarkan kaidah: “Semua syarat dan kewajiban yang berkaitan dengan ibadah yang terkait dengan kemampuan orang yang menjalani syariat, siapa saja yang tidak mampu untuk menjalani syarat, rukun, atau kewajiban, maka jadilah gugur.” Pendapat bolehnya thawaf dalam keadaan darurat seperti ini dibolehkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim.
- Adapun jika seorang wanita mengalami haidh dan bisa kembali lagi ke Makkah karena tempatnya dekat dan bisa ditemani mahramnya ketika sudah suci, maka ia boleh pergi dan kembali lagi untuk melaksanakan thawaf.
Bolehnya mencumbu istri saat haidh
Hadits ke-149
وَعَنْ مُعَاذٍ ( { أَنَّهُ سَأَلَ اَلنَّبِيَّ ( مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنِ اِمْرَأَتِهِ, وَهِيَ حَائِضٌ? قَالَ: “مَا فَوْقَ اَلْإِزَارِ” } رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَضَعَّفَه ُ
Dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa yang dihalalkan untuk seorang laki-laki terhadap perempuan padahal ia sedang haidh?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa yang ada di atas kain (selain antara pusar dan lutut).” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan hadits ini lemah menurutnya). [HR. Abu Daud dalam Kitab Ath-Thaharah. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan berkata dalam Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 2:155, sanad hadits ini dhaif].
Faedah hadits
- Hadits ini jadi dalil bolehnya bersenang-senang dengan istri yang mengalami haidh selain antara pusar dan lutut.
- Pendapat ulama yang lain mengatakan masih boleh bersenang-senang dengan istri antara pusar dan lutut asalkan bukan di kemaluan. Alasannya, karena hadits yang membatasi antara pusar dan lutut yang tidak dibolehkan adalah hadits dhaif. Sedangkan hadits sahih hanya melarang menyetubuhi wanita haidh pada kemaluan.
Waktu lamanya wanita nifas tidak shalat dan tidak puasa
Hadits ke-150
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: { كَانَتِ اَلنُّفَسَاءُ تَقْعُدُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ ( بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِينَ } رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ, وَاللَّفْظُ لِأَبِي دَاوُد َ
وَفِي لَفْظٍ لَهُ: { وَلَمْ يَأْمُرْهَا اَلنَّبِيُّ ( بِقَضَاءِ صَلَاةِ اَلنِّفَاسِ } وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم ُ
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Wanita-wanita yang sedang nifas pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan shalat selama 40 hari semenjak darah nifasnya keluar.” (Diriwayatkan oleh Imam yang lima kecuali An-Nasai dan lafazh hadits ini adalah milik Abu Daud)
Dalam lafazh Abu Daud disebutkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah memerintahkan untuk mengqadha shalat wanita nifas.” (Hadits ini disahihkan oleh Al-Hakim) [HR. Abu Daud, no. 311; Tirmidzi, no. 139; Ibnu Majah, no. 648; Ahmad, 44:186]
Faedah hadits
- Hadits ini jadi dalil bahwa lamanya nifas adalah 40 hari.
- Nifas adalah darah yang keluar dari wanita setelah melahirkan.
- Tidak ada batasan minimal terjadinya nifas. Ketika ada wanita yang suci kurang dari 40 hari, maka dianggap suci. Inilah pendapat jumhur ulama.
- Darah dianggap darah nifas jika melahirkan dan telah tampak penciptaan manusia.
Darah nifas tidak berhenti setelah 40 hari
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata, “Yang tepat, masa nifas tidak ada batasan minimal dan juga maksimalnya. Pembicaraan lamanya nifas sama dengan pembicaraan lamanya haidh (artinya, tidak ada batasan minimal ataupun maksimalnya).” (Al-Mukhtarat Al-Jaliyah min Al-Masa-il Al-Fiqhiyyah, hlm. 39).
Dalam kitab lainnya Syaikh As-Sa’di mengatakan, “Ketika darah kebiasaan itu ada, maka berlakulah hukum. Inilah yang ditunjukkan oleh dalil dan diamalkan oleh kaum muslimin. Adapun menetapkan umur tertentu di mana minimal wanita mendapati haidh atau menetapkan usia berapa berakhirnya haidh, juga menetapkan batasan minimal atau maksimalnya, maka seperti itu tidaklah terdapat dalil. (Lihat Al-Qawa’id wa Al-Furuq, hlm. 169, dinukil dari catatan kaki kitab Manhaj As-Salikin karya Syaikh As-Sa’di, hlm. 52)
Referensi
- Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Mulakhash Fiqh Al-‘Ibaadaat. I’dad: Al-Qism Al-‘Ilmi bi Muassasah Ad-Durar As-Saniyyah. Musyrif: Syaikh ‘Alawi bin ‘Abdul Qadir As-Saqqaf. Penerbit Ad-Durar As-Saniyyah, dorar.net.
- Shahih Fiqh As-Sunnah. Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Penerbit Al-Maktabah At-Tawfiqiyyah.
- Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
Referensi Indonesia
- Handbook Pubertas Muslimah (58 Pembahasan yang Perlu Kamu Ketahui dalam Mempersiapkan dan Menjalani Masa Baligh dan Pubertas). Cetakan ketiga, Juni 2020. Tim Penulis Komupedia. Penerbit Ahlan.
- Kumpulan tulisan tentang haidh di situs web Rumaysho.Com
Silakan download PDF Bulughul Maram Thaharah, Tentang Haidh: